✍️ Idrus Abidin
Dalam kondisi darurat covid-19 seperti sekarang, masjid berfungsi sebagai pusat kewarasan (hidayah dlm bentuk berbeda) yang diharapkan menjadi solusi utama pada setiap keadaan dan tempat; dunia akhirat. Maka prinsip menjauhi bahaya lebih diutamakan dibandingkan mengoleksi maslahat (dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaleh) menjadi prinsip Islam yang dijadikan standar operasional (SOP). Diantara wujud pelaksanaannya:
1. Adzan sebagai pengingat waktu shalat tetap harus selalu beralun dg modifikasi beberapa lafaz adzan seperti yang diatur dalam mekanisme ilmu fiqih. Fungsinya, memanggil beberapa orang sebagai perwakilan warga dalam pelaksanaan shalat 5 waktu. Terutama pengurus DKM dg jumlah maksimal 15 orang yang tidak sedang mengalami gejala flu dan penyakit lain yang mengarah ke indikasi covid-19. Termasuk fungsi lain azan sebagai pengusir setan dan terapi ruqyah yang diharapkan menjauhkan covid-19 dari lingkungan sekitar masjid. Dua fungsi terakhir seringkali dilupakan oleh kita-kita semua saat shalat di rumah padahal urgensinya sangat tinggi.
2. Shalat jama’ah sendiri terhitung fardhu kifayah yang berlevel sangat dianjurkan secara massal (dlm kondisi normal). Sedang bagi setiap individu, berjamaah merupakan anjuran kelas atas (sunnah muakkadah) tentunya ketika tanpa uzur. Kalau adzan dan shalat jama’ah 5 waktu tidak terlaksana di sebuah komunitas saat tidak ada uzur seperti hujan deras, covid-19, perang dll; maka semua orang di kompleks dan komunitas tersebut dianggap berdosa dan dikelabui oleh setan.
Ini nanti bisa menjadi dasar pelaksanaan shalat tarawih darurat di saat musim covid-19. Sekalipun tetap setiap DKM wajib terus memantau perkembangan dan situasi terupdate sebelum Ramadhan.
15 orang dalam pembahasan ini bisa dipenuhi kuotanya sesuai dengan kesepakatan dg cara bergiliran. Artinya, bagi warga yang ingin melepas rindunya dg shalat berjamaah, termasuk Jum’atan; bisa lapor dan mendaftar ke DKM. Mereka akan dijadwal dan digilir dengan warga lain yang punya minat serupa.
3. Penting juga melaksanakan qunut nazilah setiap waktu atau setiap shalat jahriah seperti magrib, isya dan subuh oleh imam yang kompeten, meminta agar covid-19 ini segera diangkat y oleh Allah.
4. Mana yang lebih utama; shalat di rumah atau jama’ah di masjid?
Masalah keutamaan seperti ini menjadi lahan perdebatan di kalangan ulama madzhab dari dulu hingga sekarang. Tentunya pendapat jadi beragam dengan pertimbangan dalil dan sudut pandang yang bervariasi pula. Dan, itu akan memperkaya horison dan menunjukkan Rahmat Allah bagi manusia. Sehingga bisa menjadi opsi pilihan masing-masing sesuai kondisi diri dan sekitar. Minimal 3 kategori pendapat berikut ini bisa muncul :
A. Lebih utama di rumah dg tetap berjamaah dg istri dan anak-anak serta keluarga dekat lain yang ada di rumah. Alasannya darurat dan mengikuti fatwa ulama.
B. Lebih utama di masjid bagi pengurus DKM dan lebih utama di rumah bagi selain pengurus DKM. Ini menunjukkan besarnya tanggung jawab pengurus DKM seiring besarnya peluang mereka masuk surga dan terhindar dari ancaman neraka.
C. Lebih utama di masjid, walaupun bukan pengurus DKM. Alasannya, wilayah kita belum termasuk zona merah covid-19. Maka, masjid masih bisa menggunakan SOP normal.
Ketiga pendapat tersebut di atas mutlak adanya karena perbedaan sudut pandang. Tapi bagi saya, pendapat B jauh lebih proporsional dan profesional. Dalam banyak kasus fiqih, pengurus DKM tetap harus melaksanakan kegiatan shalat sekalipun masyarakat sekitar sudah dianggap tidak perlu lagi ikut shalat. Seperti ketika hari raya idul Fitri atau idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at. DKM tetap dianjurkan untuk mengadakan Jum’atan untuk mengakomodasi masyarakat yang memilih shalat Jum’at dan menganggapnya lebih utama dibanding sekedar shalat duhur di masjid.
Contoh lain yang juga jadi lahan perdebatan ilmiah para ulama fiqih masa lalu dan sekarang adalah puasa di saat perjalanan yang terhitung tidak melelahkan. Seperti naik pesawat ke Surabaya, Sumatra, Makassar dll dari Jakarta dg kisaran 1-2 jam durasi perjalanan.
A. Ada yang menganggap berbuka lebih utama karena memanfaatkan rukhsah (keringanan dan diskon) dari Allah.Belum lagi argumen yang menyatakan, susah tidaknya perjalanan bukanlah yang dimaksud syari’at sebagai standar. Karena susah mudah itu termasuk perkara relatif yang tidak sama dalam ukuran setiap orang (ghairu mundhabithah). Safarlah yang menjadi standar utama (illah). Sedangkan rasa susah (masyaqqah) hanya hikmah yang tidak baku dan tidak sepakem dg Safar sebagai illah (mundhabithah). Makanya, selama perjalanan tersebut sudah termasuk dalam kategori Safar, maka berbuka pasti lebih utama
B. Ada pula yang berpendapat puasa lebih utama karena tidak adanya rasa susah (masyaqqah) yang menjadi alasan adanya rukhsah tersebut. Belum lagi, mengganti puasa saat suasana bukan ramadhan (tidak mendukung) jauh lebih susah dibanding puasa di saat Safar sekalipun ada rukhsah (diskon).
C. Ada juga yang memilih pendapat yang mengatakan, keutamaan puasa atau tidak di saat Safar ditentukan oleh kondisi sang musafir masing-masing. Saat dia merasa ringan untuk puasa maka itu yang utama. Tapi jika terasa berat maka berbuka lebih utama. Demikianlah contoh yang ada yang menunjukkan betapa dinamisnya hukum fiqih bagi mereka-mereka yang mengerti basis-basis dasar ijtihad dalam Islam.
5. Seputar Pemanfaatan Masjid untuk Kepentingan Sosial.
Rapat adalah salah satu ranah sosial yang kadang dipermasalahkan ketika diadakan di masjid. Alasannya, bertentangan dengan semangat sosial distancing yang dianjurkan ulama dan Umara. Sehingga membolehkan rapat di masjid berarti mengumpulkan orang yang potensial menimbulkan fitnah dari masyarakat sekitar; termasuk rentan disatroni oleh petugas keamanan seperti polisi dan danramil. Juga rapat bisa dilakukan via medsos seperti zoom dan perangkat serupa.
Tentu jawabannya adalah selama mengikuti prosedur sosial distancing dan tidak lebih dari 15 orang tentu masih belum melanggar aturan bersama. Apalagi jika orang-orang yang terlibat masih steril dari covid-19. Belum lagi jika tingkat urgensi pertemuan termasuk tinggi. Seperti pembangunan TK al-Wafaa yang sudah mepet karena kontrakan akan berakhir dan dana sudah siap. Maka akhirnya dilaksanakan di masjid dengan tanpa melanggar ketentuan yang ada. Termasuk melapor ke pihak RT, RW dan pihak keamanan. Belum lagi, pasar dan jalanan umum masih ramai. Padahal, pasar lebih kotor dan lebih sulit dilakukan sosial distancing dibanding dengan kompleks perumahan. Masa’ masjid yang lebih steril seolah “haram” digunakan. (Argumentasi terakhir ini rentan dianggap ambigu dan meruntuhkan tesis utama tulisan ini ?)
Demikianlah yang diterapkan di perumahan muslim Orchid Green Park, Sawangan, Depok sebagai bagian dari ikhtiar dakwah. Semoga bermanfaat. Tetap siap menerima masukan dan ide-ide baru yang relevan.
Depok, 11 April 2020. (Sabtu)
Tags:
No Responses