Mengapa suatu kekalahan bisa terjadi? Karena kekuatan musuh yang hebat kah? Atau semata karena kelemahan kita? Kekalahan kaum muslimin pada perang Uhud agaknya perlu menjadi perhatian kita untuk disimak.
Perang Uhud berakar dari keinginan para tokoh Quraisy untuk membalaskan dendam atas kaumnya yang terbunuh pada perang Badr. Mereka ingin membentuk pasukan besar dengan dukungan dana dari seluruh kekayaan yang dibawa oleh kafilah Abu Sofyan.
Keinginan ini akhirnya disetujui oleh seluruh kaum Quraisy dengan didukung pula oleh unsur-unsur yang dikenal dengan nama ”Al Ahabisy” (suku-suku lain di sekitar Makkah yang terikat perjanjian dengan suku Quraisy). Kaum Quraisy keluar meninggalkan Makkah dengan tiga ribu tentara.
Setelah mendengar berita tersebut, Rasulullah saw lalu mengadakan musyawarah dengan para shahabat beliau. Akhirnya Rasulullah saw keluar dari Madinah bersama seribu orang pasukannya menuju Uhud.
Namun di tengah perjalanan antara Madinah dan Uhud, Abdullah bin Ubay bersama sepertiga pasukan –umumnya terdiri dari para pendukungnya- melakukan desersi dan kembali pulang. Abdullah bin Harram berusaha mencegah mereka dan memperingatkan agar mereka tidak mengkhianati Rasulullah saw. Dalam menghadapi peperangan ini, sebagian shahabat nengusulkan agar meminta bantuan kepada kaum Yahudi, mengingat mereka terikat perjanjian untuk saling tolong-menolong dengan kaum muslimin. Tetapi Rasulullah saw menjawab, ”Kita tidak akan pernah meminta bantuan kepada orang-orang musyrik untuk menghadapi orang-orang musyrik (lainnya).”
Kekacauan kembali terjadi ketika sebenarnya kaum musyrik telah lari mundur, namun pasukan pemanah kaum muslimin yang bertugas mengawal di atas bukit justru tertarik untuk turun mengambil harta rampasan perang. Melihat bukit yang sudah tidak terjaga, akhirnya kaum musyrik melancarkan serangan balik dari arah belakang. Pada saat itulah kaum muslimin terhenyak dan terdesak.
”Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata, ”Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, ”Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran : 165)
Inilah gambaran kaum muslimin saat mengalami kekalahan dalam perang Uhud. Kehilangan tujuh puluh syuhada, ditambah lagi dengan sejumlah korban luka-luka. Padahal mereka berjuang di jalan Allah, sementara musuh-musuhnya adalah orang kafir. Mengapa kekalahan itu terjadi di Uhud, padahal jumlah kaum muslimin di Uhud lebih banyak daripada di Badr?
Akankah kita menduga bahwa kita tidak akan pernah kalah, meskipun kita lalai dalam tugas-tugas kita? Akankah pula kita tetap yakin akan menang, sementara kita tidak komitmen pada sunnatullah? Tentu tidak. Selama kita berusaha untuk konsisten pada kebenaran, maka mustahil akan terjadi kesalahan yang begitu besar. Dan selama langkah yang kita ambil berjalan seirama dengan sistem yang ada, maka akan muluslah perjalanan itu.
Kelengahan pasukan pemanah di atas bukit membuat seluruh kaum muslimin harus menelan kekalahan. Pesan pertama Rasulullah saw agar tetap bertahan pada posisi masing-masing hingga ada perintah selanjutnya, terabaikan begitu saja hanya karena terpedaya oleh harta rampasan yang berserakan. Tertipu oleh secuil harta yang sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan surga.
”…sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu serta mendurhakai perintah (Rasulullah saw) sesudah Allah swt memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan ada pula yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah swt memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu…” (QS. Ali Imran : 152)
Seringkali terjadi memang, ketika kemenangan dicapai, kita tertipu oleh keberhasilan, seakan perjalanan telah selesai. Tidak ada lagi kehati-hatian seperti sebelum tercapai kemenangan.
”Sesungguhnya Allah tidak berbuat zhalim kepada manusia sedikit pun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zhalim kepada diri mereka sendiri.” (QS. Yunus : 44)
Segala sesuatu yang menimpa manusia pasti ada sebab-sebab yang mendahuluinya. Sebab itu adalah jelas karena perbuatan zhalim manusia, Allah swt tidaklah pernah berbuat zhalim.
”Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al Ankabut : 40)
Ada hal yang pantas untuk kita renungkan dari kegagalan ini, yang semuanya tidak lain dan tidak bukan adalah bersumber dari ternodainya keimanan dan kecintaan kepada Allah swt dan kepada Rasulullah saw. Sebuah pengorbanan menakjubkan selalu bersumber dari dua hal ini, hatinya dipenuhi dengan keimanan dan kecintaan kepada Allah swt dan Rasulullah saw.
”Tidaklah beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya daripada hartanya, anaknya dan semua manusia.” (HR. Muttafaq ’alaih)
Perbedaan antara dua gambaran realita -dari para shahabat Rasulullah saw yang tetap mengingat dengan yang mengabaikan pesan Rasulullah saw- ini begitu jelas. Kecintaan yang terpatri di dalam hati para shahabat Rasulullah yang setia inilah yang mampu mengendalikan hawa nafsu mereka untuk tetap mengikuti perintah dan hukum Allah swt. Kecintaan yang mampu membuat mereka bersedia menyerahkan nyawa demi melindungi Rasulullah saw.
”Orang-orang yang menaati perintah Allah dan Rasul-Nya setelah mereka mendapat luka (dalam perang Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka yang bertaqwa ada pahala yang besar. (yaitu) orang-orang yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, ”Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.” Namun, justru perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, ”Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Ali Imran : 172-174)
Bagaimana kita dapat mengikuti jejak ketauladanan mereka? Tentu saja ada banyak hal yang dapat kita lakukan, diantaranya dengan berdzikir kepada Allah, bershalawat terhadap Rasulullah, merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah, menghayati sirah Rasulullah dan menauladani akhlak beliau, serta tentu saja semuanya diiringi dengan keistiqomahan dalam beribadah kepada Allah.
Ketika Allah membekali manusia dengan akal dan keilmuan, maka yang diharapkan adalah manusia dapat merenungi segala kekuasaan Allah sehingga memiliki keimanan dan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Kita memang dituntut untuk memiliki keseimbangan secara utuh bagi segala dimensi dalam diri kita; dimensi spiritual, intelektual, material dan moral. Semoga kita dapat menjadi pribadi yang tangguh dan terhindar dari ketimpangan yang akan membawa kita pada kesengsaraan, bukan hanya di dunia, namun juga di akhirat.
Wallahu a’lam bishshowab
Tags:
No Responses