“Biarkan saja dia, sesungguhnya malu itu bagian dari iman”. inilah komentar Rasulullah saw ketika melewati seorang laki-laki dari kaum Anshar yang sedang menasehati saudaranya yang pemalu. Demikianlah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Al-Iman, bab : Malu Sebagian dari Iman.
Pembaca yang budiman, sabda Rasulullah saw ini memberikan penekanan yang sangat jelas bahwa malu adalah sesuatu yang positif, ia adalah sifat yang baik. Namun marilah kita simak dua hal berikut ini;
Pertama, sebut saja namanya Pak Fulan, dia termasuk jamaah masjid yang rajin, namun ketika pada satu acara pengajian yang diadakan di masjid tersebut, biasanya didahului dengan pembacaan ayat suci al-Quran. Ternyata petugas yang dijadwalkan berhalangan hadir, maka panitia langsung teringat seseorang yang biasa hadir di masjid, rajin ikut shalat berjamaah dan bacaannya cukup baik, “Pak Fulan, bapak yang gantiin ya, yang terjadwal tidak hadir”, demikian pinta salah satu panitia. Namum Pak Fulan menolaknya sambil berkata : “Nggak ah… saya malu” berulang kali diminta namun jawabannya tetap sama.
Kedua, Namanya Fathimah, dia baru duduk di kelas lima SDIT, ketika sepupunya yang seusia dengannya sedang berkunjung kerumahnya, dan ketika itu sore hari dan mereka hendak mandi, maka kakaknya berkata kepadanya : “Sudah… kalian mandi bareng aja biar cepat !” dengan cepatnya ia menyahut, “Nggak ah..”, emang kenapa? Tanya kakaknya. “Kan malu kak… ntar kelihatan auratnya”.
Pada kedua penggalan kisah ini tersebutkan kata ‘Malu’ yang dijadikan alasan menolak satu perbuatan. Apakah keduanya termasuk hal positif sebagaimana disabdakan Rasulullah saw. Tentunya pembaca bisa membedakan, bahwa pak Fulan bukanlah sedang malu, akan tetapi tidak memiliki keberanian yang cukup untuk membaca al-Quran di depan khalayak, sedang Fathimah dia sedang benar-benar malu jika auratnya terlihat orang lain, dan ini adalah satu hal yang positif.
Keutamaan Malu
Malu adalah sebagian dari iman, ia adalah perasaan yang ada di dalam hati. Perasaan yang akan mencegah seseorang melakukan satu keburukan. Malu adalah sifat yang terpuji, akhlak yang mulia, bawaan yang baik, dan tabiat yang lurus. Ia termasuk akhlaqnya Rasulullah saw sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Said al-Hudri ra “Sesungguhnya Rasulullah lebih pemalu dari seorang gadis perawan yang sedang dipingit”.
Demikianlah, sebagaimana iman dapat mencegah seseorang dari melukan keburukan, begitu pula rasa malu yang benar akan membuat seseorang menjauhi keburukan mencegahnya melakukan kenistaan.
Bukhori Muslim dalam hadits yang marfu` juga meriwayatkan, “Iman memiliki tujuh puluh atau enam puluh cabang, dan malu adalah salah satu cabang dari keimanan”. Malu semua sisinya adalah kebaikan, sebagaimana hadits Rasulullah saw bahwa beliau bersabda, “Rasa malu seluruhnya adalah baik”. (HR. Muslim). Semakin jelas bagi kita bahwa malu adalah sifat baik yang syarat akan keutamaan dan tidak mendatangkan kecuali sesuatu yang juga baik.
Malu berbanding lurus dengan keimanan
Kalau iman diibaratkan sebagai sebuah pohon, maka dari sekian banyak cabang yang membuat pohon itu menjadi rindang dan kokoh adalah sifat malu. Semakin kokoh pohon keimanan yang tumbuh pada jiwa seorang mukmin, maka akan semakin besar rasa malunya. Malu untuk melakukan kemaksiatan dan malu untuk meninggalkan kebaikan atau melakukan sedikit kebaikan. Maka demikian pula sebaliknya, semakin seseorang tidak memiliki rasa malu semakin lemah keimanannya. ‘Al-hayaa’u syu`batun minal iman” malu adalah salah satu cabang dari keimanan. Malu adalah bagian dari iman.
Ekspresi malu yang terpuji
Malu dapat terekspresikan terkait kepada Allah swt dan kepada manusia. Adapun malu kepada Allah diekspresikan dalam ketaatan kepada Allah ta’ala dan meninggalkan kemaksiatan. Maka seorang hamba tidak melakukan sesuatu yang dilarang, tidak meninggalkan sesuatu yang diperintah-Nya selama dia mampu mengusahakannya. Rasa malu kepada Allah swt membuat dirinya ringan melakukan kebaikan yang diridhai-Nya, membuatnya enggan melakukan sesuatu yang dibenci-Nya. Imam Ahmad, Imam Turmudzi dan lainnya meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra. dia berkata Rasulullah saw bersabda : “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu.” Dia berkata : Kami berkata : “Wahai Nabiyullah, sesungguhnya kami benar-benar malu dan segala puji bagi Allah”, Rasulullah bersabda : “Bukan itu, akan tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu; ketika engkau menjaga kepala dan apa yang ia fikirkan, engkau menjaga perut dan apa yang ia mengisinya, kamu mengingat mati dan kehancuran-kehancuran. Barangsiapa yang menghendaki akhirat, maka ia akan meninggalkan perhiasan dunia. Maka siapapun yang telah melakukan hal itu maka ia sungguh telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu.”
Adalah Hasan Al-Bashri ketika ditanya tentang rahasia keindahan hidupnya, maka beliau menyebutkan empat hal, salah satunya beliau mengatakan “Aku tahu dan yakin bahwa Allah senantiasa mengawasi diriku, maka aku malu berbuat maksiat dihadapan-Nya.
Adapun malu kepada manusia akan terekspresikan dengan berakhlak mulia kepada mereka, bermuamalah dengan cara yang ma`ruf, menjaga diri untuk tidak menyakiti mereka, tawadhu’ dan rendah hati, tidak menghianati mereka, tidak menipu mereka demi mendapatkan harta mereka. Demikianlah rasa malu akan mencegahnya berbuat zhalim kepada sesame. Jika dia seorang pemimpin maka tidak akan mengambil hak rakyatnya. Jika ia seorang pedagang tidak akan menipu pembelinya. Jika dia seorang produsen tidak akan menghasilkan produk yang membahayakan konsumennya. Maka jadilah rasa malu itu perpanjangan tagan dari keimanannya dalam menjaga dirinya dari keburukan.
Robohnya rasa malu
Ibnul Muqaffa’ mengatakan ,”Jika yang ma`ruf itu menjadi jarang maka ia akan berubah (dalam pandangan manusia) menjadi sesuatu yang mungkar. Jika perkara yang mungkar itu membudaya maka bisa berubah (dalam pandangan manusia) menjadi perkara yang baik”.
Hari ini kita melihat perubahan yang begitu drastic. Dulu orang tua ketika ketahuan anaknya berduaan dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya (baca: pacaran) maka ia akan merasa tercoreng mukanya. Yang memakai pakaian tidak menutup penuh auratnya mereka akan merasa malu. Namun kita jumpai hari ini, orang tua yang senang jika anak gadisnya didatangi setiap malam minggu oleh teman laki-lakinya, dan sebagian malu jika anaknya tidak punya pacar. Bahkan banyak orang tua yang melatih anaknya -sadar atau tidak sadar- mengenakan pakaian yang semi telanjang. Ada hal yang telah berubah, dan ini beriringan dengan robohnya rasa malu dalam jiwa. Dulu orang berpacaran akan sembunyi-sembunyi, hari ini kita dapat saksikan di banyak Fly over, mereka pasangan muda-mudi memadati pinggiran jalan itu dengan melakukan perbuatan yang menggambarkan robohnya rasa malu dalam diri. Wajarlah jika Rasul mengatakan bahwa malu adalah sebagian dari iman.
Semoga kiranya rasa malu dalam diri kita senantiasa terjaga kebugarannya, semakin kuat mendorong kita untuk tidak meninggalkan nilai-nilai kebajikan, menguatkan kita untuk menjahui keburukan bahkan membencinya. Semoga kita menjadi hamba Allah yang gandrung dengan kebaikan, rindu untuk menikmatinya dan enggan bersahabat dengan kemaksiatan serta risih berdekatan dengan kezhaliman. Semoga Allah swt memudahkan kita menjadi hamba yang memiliki rasa malu dan mewariskan rasa malu yang terpuji kepada genarasi penerus. Amin..
Wallahu A`lam.
No Responses