Metode dan Prinsip Dakwah

Metode dan Prinsip Dakwah

Metode dan Prinsip Dakwah.

✍️ Idrus Abidin.

Dakwah adalah sebuah aktifitas yang bertumpu pada keahlian mendialogkan pesan-pesan keislaman kepada audiens dengan memperhatikan situasi, kondisi, tempat, budaya dan adat istiadat yang melingkupi. Dakwah paling utama dan mendasar adalah ajakan secara persuasif melalui sikap dan etika mulia, berlapiskan kasih sayang; dengan berharap masyarakat di sekitar kita mendapatkan tularan kebaikan langit yang membumi. Idealisme benar yang merealitas. Moderat tanpa terperosok dalam kubangan kebablasan. Menyelesaikan masalah tanpa masalah (Pegadaian kali ?). Toleran tanpa ikut arus serba boleh (ibahiyah). Tegas tanpa kehilangan nuansa kelembutan. Itulah kategori dakwah persuasif (dakwah bi al-hal). Stoknya adalah konsistensi dalam kebaikan dalam rentang waktu yang panjang. Efeknya kadang lebih besar daripada dakwah lisan karena pesona keindahan akhlak itu begitu menarik di mata umumnya masyarakat. Terutama di lingkungan keluarga dekat dan keluarga besar, dakwah persuasif ini jauh lebih tepat dan sangat efektif. Akhlak mulia menunjukkan sikap jujur terhadap diri sendiri sehingga sangat potensial melipatgandakan kepercayaan orang-orang sekitar kepada kita. Kita eksis sebabnya karena kita mampu beternak kepercayaan dari lingkungan sekitar kita. Itulah hasil dari sikap cekatan kita membangun self leadership pada diri kita masing-masing sebagai da’i.

Dakwah lisan beda lagi. Mubaligh harus bisa menyesuaikan diri dengan audiens dalam penggunaan retorika “bahasa”. Secanggih apapun keilmuan seorang alim, dalam komunikasi dakwah, tidak akan dianggap berhasil tanpa keahlian lain berupa kompetensi menyederhanakan pesan. Di sinilah dibedakan antara seorang da’i murni (muballigh) dengan alim ulama ahli ilmu. Masyarakat awan tentu tidak memiliki keahlian membedakan keduanya. Karena bagi mereka alim dan da’i itu yang penting pintar mengemas pesan-pesan keagamaan; apalagi kalau lucunya tak kepalang tanggung ?. Akhirnya, alim ulama ahli ilmu (Mufti) kadang tidak dikategorikan sebagai da’i atau muballig oleh awamers karena ketidakmampuan para alim ulama itu menyesuaikan diri dengan selera umum. Akhirnya, segala persoalan ditanyakan kepada da’i yang kadang susah dibedakan dengan peserta stand up komedi yang bernuansa “dakwah” itu. Jika da’inya tidak mengerti batasan (kelemahan) diri, jawaban ngaur bin serampangan itu pasti diobral di layar-layar Tv Nasional. Jadinya, gampang jadi objek tertawaan dan lelucon oleh alim ulama. Bahkan, dalam kadar tertentu, sang da’i bisa dianggap “menipu” ummat. Karena popularitas mendahului kapasitas. Isi tas lebih prioritas daripada kontinyuitas dalam memerangi ilmu yang masih pas-pasan.

Setidaknya dakwah lisan tidak keluar dari kategori berikut :

1. Dakwah Hikmah : yaitu pesan keislaman yang disampaikan kepada masyarakat umum yang serba awam dengan masalah keislaman dan mereka pun menerima pesan tersebut tanpa penolakan karena fitrah mereka yang masih bersih. Walaupun realitas diri mereka masih jauh dari pesan-pesan dakwah yang disampaikan.

2. Dakwah dengan nasehat yang baik (mauidzah Hasanah). Yaitu pesan dakwah yang disampaikan kepada kelompok tertentu yang sebenarnya sudah mengerti yang benar. Hanya saja, hawa nafsu dan rasionalitas Iblis menyeretnya kepada dosa, maksiat dan penyimpangan. Agar kembali kepada kebenaran dengan mentalak tiga kemaksiatan itu, sang da’i berusaha menyampaikan pesan dakwah dengan nasehat yang menyentuh. Sehingga yang bersangkutan menyesal hatinya. Beristigfar lisannya. Menahan fisiknya dari kesalahan masa lalu. Memperbaiki sikapnya dengan kebenaran yang telah ia kenal sebelumnya. Bahkan, supaya tidak mudah lagi terbawa arus banjir maksiat, ia menempatkan diri dalam kerumunan orang-orang taat. Jadi, dakwah versi ini, merubah sikap seseorang atau sekelompok masyarakat tanpa mengungkit kesalahan apalagi nyinyir terhadapnya. Kegiatan ini tidak lebih dari sikap saling menasehati karena adanya kesamaan level antara penasehat dan objek dakwah. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh da’i yang berbeda haluan Mazhab akidah dan pilihan rel fiqih. Tentunya selama mereka masih berada pada frekwensi yang sama; Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Tak perlu debat dengan maksud agar otot-otot keilmuan tampil berseliweran disertai makian, bumbu-bumbu nyiyiran, sikap merendahkan hingga senyum kemenangan terhadap lawan yang membisu dan tampak terpojok di depan ranah publik.

3. Debat dengan cara yang baik. Fokus kepada kebenaran; bukan untuk kemenangan apalagi berharap tumpukan ketenaran. Dakwah versi ini hanya bersifat defensif (bertahan dan menangkis tuduhan dan serangan verbal peradaban/Mazhab lain). Sebaiknya kita menghindari dakwah opensif dengan metode dialektik seperti ini. Terutama kalau kita belum terlatih dan belum punya pemetaan intelektual keilmuan yang cukup dalam. Keahlian dalam komparasi antara beragam pendapat berbeda dan sikap saling menghargai mutlak di sini. Karena kalau tidak, hasilnya hanya pertengkaran, cerai berai dan sikap cuek yang tentunya terlarang dalam konsep keislaman kita. Namun demikian, metode dakwah ini tetap dibutuhkan untuk mendialogkan perbedaan yang ada. Tetapi harus sesuai koridor (dhawabith) yang telah dirumuskan oleh ulama kita dalam etika berbeda pendapat (adabul ikhtilaf wa adabul jadal wal munazharah). Tentu kalau etika berbeda pendapatan beda lagi babnya ??. Setidaknya, itulah yang saya pahami dari firman Allah berikut :

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik (mauizah hasanah). Dan, debat serta bantahlah mereka dengan cara-cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS an-Nahl : 125).

Lalu, gimane menurut lhu-lhu pade bro-bro ? ?? ?

Tags: , , , , ,
banner 468x60

No Responses

Comments are closed.