Istilah tawakkal sangat akrab di lisan masyarakat. Ia kerap diucapkan tatkala usaha seseorang sudah maksimal dan berharap hanya kepada Allah yang Maha Kuasa untuk menyukseskan usahanya. Tawakkal berasal dari kata tawakkala; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. Seseorang yang bertawakkal adalah seseorang yang mewakilkan, mempercayakan dan menyerahkan segala urusannya hanya kepada Allah Swt. semata. Namun sejumlah ulama salaf memberikan definisi beragam namun saling melengkapi.
Imam Ahmad bin Hambal menyatakan, tawakkal merupakan aktivitas hati ; bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh, juga bukan kerja ilmiah.
Sementara Ibnul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan, tawakkal merupakan amalan dan ubudiyah (penghambaan) hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, percaya kepada-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikan segala kecukupan baginya dengan tetap menjalankan hukum kausalitas (sebab akibat dan faktor-faktor yang mengantarkan kepada sesuatu yang dicarinya) disertai dengan usaha keras untuk memperolehnya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, meski tawakkal adalah hanya aktivitas di hati, namun ia berhubungan antara hati dengan usaha manusia untuk mencapai sesuatu hasil. Di lain sisi, tawakkal terkait erat dengan persefsi dan keyakinan seseorang terhadap usahanya dan siapa penentu keberhasilannya. Ia terkait dengan keyakinan dan persefsi seseorang terhadap rizki, jodoh, dan kematian. Tawakkal adalah bagian dari akidah di dalam Islam. Jika agama Islam secara umum meliputi dua aspek; al-isti’anah (meminta pertolongan Allah) dan al-inabah (kembali kepada Allah), maka tawakkal merupakan setengahnya sebab tawakkal merupakan refleksi dari al-isti’anah.
Al-Qur’an menyebutkan kata tawakkal sebanyak 70 kali. Ini mengisyaratkan, tawakkal adalah bagian terpenting ajaran Islam. Sebab, tawakkal merupakan perintah Allah SWT. “Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal : 61) Disamping itu tawakkal adalah ciri dan syarat orang yang beriman kepada Allah. “Dan hanya kepada Allahlah, hendaknya orang-orang mu’min bertawakkal.” (QS. Ali Imran : 122). Dalam setiap aktivitas, seorang mukmin pasti ingin mendapatkan hasil. Untuk memperoleh hasilnya itu salah satu syaratnya adalah ia harus bertawakkal kepada Allah. “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Para Rasul dan orang-orang yang beriman ditolong oleh Allah karena mereka bertawakkal kepada-Nya sebagai sebaik-baik penolong. “Dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran : 173)
Antara Tawakkal dan Berusaha (Al-akhdzu bil asbab)
Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan tawakkal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakkal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakkal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, ambillah sikap waspada.” (QS. An Nisa: 71). “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal: 60). “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” (QS. Al Jumu’ah: 10).
Sahl at-Tustari mengatakan, “Barang siapa mencela dan mengaibaikan usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan). Barang siapa mencela tawakkal (tidak mau bersandar pada Allah) maka dia telah meninggalkan keimanan. Karena itu ketika membicarakan tawakkal, Rasulullah menganalogikannya dengan burung yang keluar dari sangkarnya mencari makan.” Hadits yang dimaksud Sahl at-Tustari adalah hadits berikut :
Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas).
Al-Munawi mengatakan, “Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rezeki, yang memberi rezeki adalah Allah ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakkal tidak berarti meninggalkan ikhtiar, akan tetapi perlu melakukan berbagai usaha dan sebab-sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rezeki dengan usaha sehingga hal ini menunjukkan betapa perlunya kita mencari rezeki.”
Namun demikian, setiap hamba tidak bergantung pada usaha dan sebab-sebab yang telah dilakukan. Karena yang dapat mendatangkan rezeki, mendatangkan manfaat dan menolak bahaya bukanlah usaha dan sebab-sebab tersebut tetapi Allah ta’ala semata.
Balasan Bagi Orang Yang Bertawakkal
Karena agungnya ajaran tawakkal, Allah menjanjikan berbagai macam kebaikan sisi-Nya sebagai balasan. Baik balasan kemaslahatan di dunia atau di akhirat, baik balasan materi atau non materi. Selain itu, tawakkal juga mampu menolak bala’, bencana dan musibah selama di dunia. Dengan tawakkal yang benar, Allah akan memberikan jalan keluar dan rizki tanpa disangka-sangka serta memberikannya kecukupan dan dijauhkan dari kemiskinan.“Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaaq: 3).
Orang yang bertawakkal juga akan mendapat perlindungan dari Allah.”Barangsiapa yang tawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Anfal : 49). Allah juga menjamin kebaikan dunia dan akhirat bagi orang yang bertawakkal. “Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal.” (QS. An-Nahl : 42). Orang yang bertawakkal juga dijaga Allah dari pengaruh dan godaan setan. “Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaan-Nya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya.” (An-Nahl: 99)
Bahkan dalam sebuah hadits ditegaskan, orang yang bertawakkal hanya kepada Allah, akan masuk ke dalam surga tanpa hisab. Dari Abdullah bin Abbas ra, Rasulullah Saw. bersabda, “Mereka tidak pernah menjampi atau dijampikan dan tidak suka menebak nasib dengan perantaraan burung, dan hanya kepada Rab-nya lah, mereka bertawakkal.” Lalu bangunlah Ukasyah bin Mihsan dan berkata, “Ya Rasulullah ! doakanlah aku supaya masuk dalam golongan mereka.” Rasulullah Saw. menjawab, “Engkau termasuk golongan mereka.” Kemudian berdiri pula orang lain, dan berkata, “Doakan saya juga supaya Allah menjadikan saya salah satu dari mereka.” Rasulullah Saw. menjawab, “Engkau telah didahului oleh Ukasyah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mereka yang bertawakkal juga akan ditolong Allah. Dikisahkan pada saat perang Dzatur Riqa’, ketika Rasulullah Saw. sedang beristirahat di bawah sebuah pohon, sedangkan pedang beliau tergantung di pohon. Ketika tiba-tiba datang seorang musyrikin yang mengambil pedang beliau sambil berkata, siapa yang dapat melindungimu dariku? Namun dengan sangat tenang Rasulullah Saw. menjawab Allah. Setelah tiga kali bertanya, tiba-tiba pedang yang dipegangnya jatuh. Lalu Rasulullah Saw. mengambil pedang tersebut seraya bertanya, “Sekarang siapakah yang dapat melindungimu dariku?”
Demikianlah tawakkal bersemayam dalam jiwa kaum beriman. Semoga Allah Swt. senantiasa mengarahkan kita untuk dapat menggapai tawakkal yang baik dan benar. Amin.
Wallahu A’lam
No Responses