Sisi-Sisi Perbedaan Antara Muballig (Ahli Retorika Dakwah) dan Alim Ulama (Ahli Hukum Islam dan Basis Dasar Ijtihad)

Sisi-Sisi Perbedaan Antara Muballig (Ahli Retorika Dakwah) dan Alim Ulama (Ahli Hukum Islam dan Basis Dasar Ijtihad)

Sisi-Sisi Perbedaan Antara
Muballig (Ahli Retorika Dakwah) dan Alim Ulama (Ahli Hukum Islam dan Basis Dasar Ijtihad)

✍️ Idrus Abidin.

Kemampuan memuaskan logika audiens merupakan keahlian berbeda dengan kapasitas memahami dasar-dasar argumentasi (Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas dll) untuk menemukan ketentuan hukum yang melatari setiap aktivitas keislaman maupun hukum baru bagi peristiwa yang terjadi di zaman modern ini.

Seharusnya, sebelum kita berpropesi sebagai muballig; sebaiknya kita sudah melalui proses karantina untuk pembekalan demi mendownload keahlian memahami dasar-dasar argumentasi yang mendukung kita untuk bisa mendeteksi bahwa hukum tertentu adalah status yang paling dekat dengan ruh Islam.

Kapan obsesi kita lebih terpokus ke kapasitas memuaskan audiens dibandingkan kemampuan memahami motode penggalian hukum (istinbath) maka da’i lebih cenderung memberdayakan tips-tips yang mudah diterima oleh masyarakat dibanding berusaha menyampaikan hal-hal yang diinginkan oleh Allah ta’alaa.

Yang jelas, hukum-hukum fiqih tidak mungkin kontradiksi dengan rasio dan nalar yang sehat. Kalau hukum fiqih itu betul pasti rasional dan memuaskan jiwa audiens. Kalau ada hukum fiqih tidak memenuhi unsur rasional dan memuaskan nalar sehat, dicurigai ada kesalahan identifikasi oleh nalar terhadap hukum fiqih tersebut.

Beberapa poin berikut makin menegaskan sisi-sisi perbedaan koridor kerja antara muballig dan alim ulama dalam kerja-kerja dakwah dan perbaikan diri, keluarga, masyarakat, negara dan agama.

1. Kemampuan beretorika merupakan keahlian yang didukung oleh perangkat lain sehingga da’i mampu menyederhanakan masalah ke benak audiens. Tentu keahlian beretorika tidaklah dimiliki oleh semua alim ulama. Maka, ketidakmampuan mengkomunikasikan pesan-pesan dengan cara yang lebih relevan dengan nalar audiens bersumber dari kurangnya sarana dan keahlian retorika; bukan karena kekurangan hukum fiqih.

2. Hukum-fiqih tidak harus disampaikan oleh alim ulama kepada seluruh masyarakat tanpa memperhatikan kondisi dan realitas yang mengitari. Di samping itu, hukum fiqih juga memperhatikan tahapan dalam pelaksanaannya. Terkadang, ada kondisi dan tempat tertentu yang belum memungkinkan suatu hukum fiqih disampaikan. Karena efek buruknya jauh lebih besar dibanding maslahat yang diharapkan. Belum lagi antara orang yang baru berislam dengan kelompok yang memiliki latar belakang keislaman memiliki kebutuhan berbeda terhadap penjelasan hukum fiqih. Semuanya harus dilayani sesuai kebutuhan masing-masing. Mimbar-mimbar masjid dan ruang-ruang pegawai kantoran serta kegiatan budaya masyarakat yang terkadang dimanfaatkan untuk menyampaikan dakwah teroris tidak cukup kuat untuk diarahkan ke pengkajian Islam; tapi hanya sebatas pengajian. Adapun pengkajian dan penelitian keislaman membutuhkan kelompok dan latar belakang tertentu serta alim ulama yang mapan di bidangnya masing-masing sesuai jurusan yang ditempuh; termasuk pendalaman metode penemuan hukum Islam melalui serangkaian proses ijtihad. Di sini, retorika tidak terlalu penting. Karena yang dibutuhkan adalah kompetensi ilmiah.

3. Kepuasan audiens tidak semata-mata terkait dengan argumentasi rasional saja. Tetapi kepuasan tersebut juga dipengaruhi oleh aspek psikologis, sisi sosial, nuansa budaya dan faktor adat istiadat serta kondisi politik. Maka, jangan heran jika risalah para nabi terutama di awal debut dakwah mereka, seringkali dijadikan bahan ejekan dan olok-olokan. Bahkan dianggap sihir, lelucon masa lalu atau sejenis dongeng dan mitos baru. Belum lagi, objek dakwah seringkali mengajukan banyak persyaratan dan tuntutan kepada para nabi agar mereka mau menerima ajakan para utusan Allah ta’alaa itu. Maka, kepuasan objek dakwah sangat dipengaruhi pula oleh syahwat dan hawa nafsu mereka (kecenderungan dan orientasi). Sehingga perlu juga dipahami bahwa kewajiban da’i atau alim ulama; bahkan para nabi dan rasul sekalipun, bukanlah membuat banyak masyarakat beriman dan mengamalkan petunjuk-petunjuk Islam. Bukan pula standar keberhasilan da’i, alim ulama bahkan nabi dan rasul dilihat dari kepuasan masyarakat. Tetapi kewajiban dakwah itu bertumpu pada tersampaikannya pesan-pesan dan kehendak ilahi melalui penjelasan, penerangan dan penyampaian berita langit kepada masyarakat luas.

4. Kepuasan audiens umumnya sangat dipengaruhi oleh kelembutan, kasih sayang, kebaikan dan perhatian da’i. Semua itu merupakan hal-hal yang berada di luar ketentuan hukum Fiqih. Kadang suatu ketentuan hukum Fiqih ditolak oleh seseorang atau sekelompok masyarakat, namun dengan sentuhan khusus dari kelembutan sang da’i dan alim hal tersebut menjadi akses utama ke jiwa dan nalar audiens. Pointer ini sudah disinggung pada status tentang metode dan manhaj dakwah sehari sebelumnya.

5. Kesesuaian hukum fiqih dengan rasio dan nalar masyarakat tidak berarti bahwa suatu hukum fiqih harus selaras dengan nalar mayoritas objek dakwah. Terkadang untuk beberapa orang, hukum Fiqih tertentu sulit dipahami seketika. Dibutuhkan waktu, penjelasan tambahan dan kondisi serta keadaan berbeda untuk bisa membuat mereka merasa puas dan menerima ketentuan hukum tertentu tersebut. Jadinya, menggantungkan hukum fiqih dengan kepuasan rasio manusia menunjukkan kurangnya kualitas keimanan terhadap syari’at Allah ta’alaa. Karena ketika itu, persoalan bukan lagi antara hukum fiqih dengan rasio masyarakat, tetapi tidak lebih dari kegagalan bernalar sang audiens ketika berusaha memahami substansi hukum fiqih tersebut.

Jadi, setiap muslim hendaknya memiliki standar baku dalam membedakan antara pengetahuan seputar hukum fiqih dengan tata cara memuaskan objek dakwah. Juga, masyarakat perlu terus dibina agar mereka paham perbedaan antara penceramah dan alim ulama. Kalau awamers ditanya tentang bagus tidaknya tilawah seseorang ketika imam di masjid atau mushalla; terutama saat Ramadhan, dipastikan standar mereka adalah merdunya suara. Adapun kepasihan, hampir tidak mereka pahami. Karena teori-teori tahsin dan tajwid belum pernah mereka pelajari. Itulah contoh sederhana bedanya da’i (muballig) dan ahli Fiqih. Wallahu a’lam.

Semoga Berisi kilasan ilmu dan tetesan inspirasi sob-sob ya ? See you more. Keep Istiqomah. May be Allah bless us.

Diadaptasi dari :

Ma’rakatun Nash; Ma’a at-Tahrif al-Muashir Li al-Ahkam wa al-Mafahim al-Syar’iyyah. Karya, Dr. Fahd bin Sholih al-Ajlan.

Tentunya dengan beragam penyesuaian.

Tags: , , , , , , , ,
banner 468x60

No Responses

Leave a Reply