Pengembaraan Intelektual

Pengembaraan Intelektual

Pengembaraan Intelektual.

Bagian 1.

By. Idrus Abidin.

Tulisan ini memadukan antara :

1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan).
2. Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik). Modern tanpa kebablasan.
3. Pengalaman real lapangan.

Titik sentral Pembaharuan (tajdid) yang digelorakan oleh kalangan muslim liberal dunia, termasuk di Indonesia; bertumpu pada realitas. Realitas tersebut umumnya berdasarkan pengertian Barat (Wordfiew) sekuler; termasuk prinsip praktis yang digunakan dalam membaca teks-teks syari’at (framework). Sehingga Islam dibaca dengan penafsiran tertentu dengan memberikan porsi keutamaan pada realitas. Bahkan, realitas tampaknya dianggap patokan pasti (qath’i), sedang teks-teks keagamaan/syariat harus mengikuti panduan realitas tersebut karena dianggap hanya sebatas perkiraan (zhanni). Itulah makna Islam sesuai dengan semangat setiap zaman dan semua tempat dalam nalar kaum liberal. Maka, jungkir baliklah standar baku prosedur memahami teks-teks keagamaan yang dipelopori oleh Nabi, sahabat, tabi’in. Prosedur baku dan terhitung sakral dalam internal Ahlu Sunnah; terutama kalangan Atsariyah. Prosedur baku tersebut dikenal dengan Tafsir bi al-Matsur dalam dunia Tafsir. Yaitu pendekatan dan prosedur pemahaman syariat mengikuti alur riwayat (atsar). Perbedaan ekstrim antara Islam kanan dan Islam kiri inilah yang melahirkan sikap saling tuduh antara dua pola dan dua kecenderungan tersebut. Islam progresif vs Islam Jumud. Islam ingklusif vs Islam Eksklusif. Islam liberal vs Islam Literal. Tampak hanya ada dua pilihan bagi publik awam dan pemula; seolah tidak ada kombinasi baru (sintesis).

Alhamdulillah, kami sudah hidup dalam ke-2 nuansa intelektual tersebut. Yang dibilang (dituduh) Islam fundamental, Literal, eksklusif, Islam Jumud dll kami selami lewat studi perbandingan madzhab di kampus biru; LIPIA, Jakarta. Semua rumpun mata kuliah di kampus ini serba berbeda tinjuan mazhabnya. Walaupun itu bertahap adanya. Di akidah misalnya, diawali dengan akidah sederhana dalam bentuk mudzakkirah (catatan pendek sekedar rangkuman) di kelas persiapan bahasa (I’dad Lughawi) dan pemantapan bahasa (Takmili). Di Fakultas syari’ah, kitab al-Qaul al-Mufidnya Syaikh Utsaimin sebagai Syarah kitab at-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab dipelajari. Masih satu pendekatan. Namun, di semester 4 kalau tidak salah, perbedaan pendapat dalam ranah teologi Islam dengan pendekatan ilmu Kalam yang serba filosofis bahasanya mulai dipelajari. Kitab Aqidah Washithiyah dijadikan mata kuliah resmi. Kepala kami pun cenut-cenut membaca teks klasik itu dengan perdebatan intelektual dialektis (jadal) tingkat tinggi. Bahkan, sejak selesai fakultas syari’ah tahun 2005 hingga hari ini, masih banyak yang belum saya pahami dengan baik dari kitab tersebut. Mungkin karena nilai intelektualnya yang tinggi; terutama di kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah. Kadang harus dihapal jawabannya walau tidak ngerti isinya sebagai pertanggungjawaban di kelas-kelas ujian.

Di fiqih dan Ushul Fikih pun sama. Awalnya satu Mazhab. Fikih Syafi’iyah yg merangkum ragam pendapat di internal mazhab tersebut ada di kitab Kifatyatul Akhyar. Sebagai Syarah dari kitab Matn Abi Syuja’. Lagi-lagi kepala cenut-cenut. Seolah bayi yang dipaksa makan nasi goreng pedes. Hehehe. Itu di Takmili. Ushul Fiqihnya pake kitab Syaikh Shalih Utsaimin. Sastra Arabnya (Balagah) yang berkategori 3 serangkai ; Badi’, Bayan dan Ma’ani tak kalah susahnya. 2 tahun pertama di I’dad Lughawi seolah merangkum 9 tahun belajar resmi di negara-negara Arab dari SD ke SMP. Sedang 1 tahun di Takmili seperti perasan ilmu 3 tahun di SMA Arab yang harus dijilat sempurna. Teks-teks sastra Arab itu seperti mantra-mantra sakti atau azimat yang berisi banyak simbol; susah dimengerti maksudnya. Bagi saya, 1 tahun di Takmili itu lebih “memenjarakan” dibanding 4 tahun di karantina fakultas syari’ah. Gramatika Arabnya (Nahwu) memakai standar Alfiyah Ibnu Malik yang disederhanakan penjelasannya oleh kementerian pendidikan Arab Saudi.

Di Fakultas Syari’ah, semuanya perbedaan pendapat. Hanya sejarah Dakwah Imam Abdul Wahhab saja yang rada-rada standar. Mata kuliah lain serba njelimet. Ushul Fiqih make Raudhatu an-Nazhir karya Ibnu Qudamah. Rekaman dialektik antara Mazhab fuqaha dan mutakkalimin hadir bagai sinetron persilatan Bramakumbara atau Tuturtinular atau sejenisnya di Indonesia. Seru tapi berat. Muktazilah pun selalu ikut serta dalam diskusi ala Indonesia Lawyers Club (ILC) itu. Tampak jauh berbeda dengan muktazilah plus hari ini yang doyan banget dg pluralisme agama. Di Fiqih, kitab Bidayatul Mujtahid karya filosof Ibnu Rusyd dipake. Tambah mumet kepala gue dg beragam perbedaan Mazhab. Di Hadits Hukum, buku Subulussalam; Syarah kitab Bulugulb Maram dijadikan panduan kuliah. Mazhab resmi Syi’ah Zaidiyah dijadikan Mazhab ke-5 oleh Imam ash-Sha’nani. So, jangan anggap anak-anak LIPIA hanya belajar Sunnah tanpa tahu Syi’ah loh ya; terutama di ranah Fiqih.

Di mata kuliah Tafsir pun lagi-lagi perbedaan yang tampak. Pendekatan riwayat (ma’tsur) dan metode rasional (dirayah) ikut meramaikan mata kuliah di ranah tafsir ini. Walaupun kadar jelimetnya lumayan standar. Di pelatihan penulisan karya ilmiah berupa skripsi di Indonesia, malah di Lipia 3 x (semester 4, 6 dan 8). Tentunya pake bahasa Arab resmi. Yaaah… Itulah sekelumit pengembaraan intelektual kami di Islam tekstual kata para kaum liberal. Saya termasuk bersyukur (puas dan bangga) pernah “babak belur” dalam gemblengan naskah-naskah klasik ulama masa lalu di kampus biru itu (Kampus Arab Rasa Indonesia). Walaupun saya sendiri biasa-biasa aja ilmunya. Tidak sepertii alumni lain yang telah menasional, bahkan internasional ; Ust. Anis Matta, Ust. Bahtiar Nasir, Ust. Zaitun Rasmin, (Trio Sul Sel). Ust. KH Dr. Asrorun Ni’am dan KH. Dr. Kholil Nafis di NU, Ust. Ahmad Heryawan, dll. Silahkan ditambahkan gaes ! Hehehe ?

6 tahun lamanya penjara ilmiah itu kualami dengan beragam rasa (nano-nano kali ?). Hingga kampus itu kontraksi, lahirlah daku sebagai salah satu sarjana alam ghaib (selevel S.Ag di kampus nasional). 6 tahun lamanya, seperti masa studi fakultas kedokteran, tapi beda jurusan. Mereka di Kesehatan biologis, kami di kesehatan psikologis keislaman ???

Catatan :

1. Pengembaraan intelektual di Dunia Akademik “Progresif” ala liberal ntar nyusul aja ya. Biar ga kepanjangan dan ga ngebosenin.

Bersambung. In syaa Allah.

Pagi di Jum’at Berkah, 3 April 2020
(9 Sya’ban 1441 H.)

Tags: , , , ,
banner 468x60

No Responses

Leave a Reply